Siang itu, di rumah sederhana milik Griya Welas Asih, Jalan Seteran Tengah Nomor 52, Miroto, Semarang Tengah, tampak empat remaja perempuan sedang berkumpul di ruang tengah rumah tersebut. Mereka bercanda ringan sembari sesekali melihat ponsel handphone di tangannya. Tapi tidak dengan Rahma (bukan nama sebenarnya), saat ketiga temannya asyik sesekali bermain handphone, remaja perempuan usia 15 tahun itu, disibukan dengan menggendong anaknya, bayi laki-laki berusia dua bulan. Kehamilan itu bukan kemauan remaja periang itu. Perempuan asal Grobogan itu menjadi korban kekerasan seksual oleh majikannya saat bekerja menjadi pembantu rumah tangga. "Iya kami terima para perempuan hamil di luar nikah, rata-rata usia perempuan yang kami rawat berusia 14–25 tahun," kata pengelola Griya Welas Asih Semarang, Rosalia Amaya kepada tribunjateng.com, Sabtu (29/1/2022).
Tak hanya Rahma, masih banyak perempuan hamil di luar nikah yang bernaung di Griya Welas Asih.
Mereka yang terkucilkan dan memperoleh stigma negatif baik dari keluarga maupun lingkungan mendapatkan rumah singgah untuk mempersiapkan kelahiran anak mereka. Pada usianya yang masih belia ia harus menanggung banyak penderitaan. Sudah yatim piatu, putus sekolah, kini ia juga sedang hamil lima bulan. Beruntung Riris menemukan rumah singgah untuk bernaung hingga ia nanti melahirkan. Adapula remaja lain, namanya Nanda remaja perempuan berusia 14 tahun yang harus menelan pil pahit. Ia diperkosa ayah tirinya saat sekolah online di rumah hingga hamil di usia yang sangat belia. Akhirnya, untuk menjaga psikis Nanda yang baru duduk di bangku SMP dan menghindari sanksi sosial, ibunya menitipkan ke Griya Welas Asih.
Cahya juga mengalami kisah yang sama.
Perempuan muda berusia 20 tahunan itu harus rela meninggalkan pekerjaannya dan memilih tinggal di Griya Welas Asih karena hamil di luar nikah. Padahal, ia adalah tulang punggung keluarga. Griya Welas Asih mau menerimanya karena kondisinya benar-benar susah. Apalagi, melihat latar belakang Cahya yang juga tumpuan keluarga.
Cahya juga meminta akan tinggal jika usia kandungannya enam bulan agar ia bisa bekerja dulu untuk keluarganya "Soalnya kalau sudah di sini sudah tidak bisa bekerja sampai melahirkan," ungkap Rosa. Rosa mengungkapkan, Griya Welas Asih mulai berdiri tahun 2018 sudah ada 26 perempuan muda yang hamil di luar nikah yang pernah singgah di sana. Para perempuan itu berasal dari berbagai daerah seperti Kota Semarang, Grobogan, Magelang dan lainnya. Dari luar Jawa seperti Maluku juga ada hanya saja perempuan itu sedang menempuh pendidikan di Kota Semarang. Ia mengaku, mendirikan tempat tersebut karena pernah menolong satu perempuan di bawah umur yang hamil di luar nikah. Ia ketika itu merasa sangat iba, apalagi satu kerabatnya pernah meninggal dunia akibat melakukan aborsi.
Pengalaman-pengalaman pahit orang-orang sekitarnya yang mendorongnya untuk mendirikan Griya Welas Asih.
"Ayah juga mengajarkan saya untuk berbagi, maka ketika itu dengan modal nekat saya mendirikan Griya Welas Asih yang dibantu oleh beberapa teman," katanya. Kapasitas rumah tersebut sebanyak tujuh orang, dengan didampingi dua orang pendamping yang berjaga 24 jam penuh.
Rosa menuturkan, para perempuan yang menghuni Griya Welas Asih mereka bisa menemukan tempat ini dari media sosial baik Facebook maupun Instagram dengan nama akun Griya Welas Asih ComfortHome. Jika sesuai syarat dan kriteria para perempuan malang tersebut bisa tinggal dengan gratis hingga melahirkan dan masa nifas selesai.
Namun tidak semua perempuan hamil di luar nikah bisa diterima di rumah singgah tersebut.
Pihaknya memiliki syarat ketat seperti kenapa sampai hamil, kerja apa sampai hamil di luar nikah dan lainnya.
Sebab, pihaknya hanya menolong yang benar-benar kecelakaan dan ketidaktahuan mereka seperti siswa atau mahasiswa pacaran lalu hamil.
"Adapula ada yang dihamili majikan, teman tapi mesra, hingga diperkosa ayah tiri," tuturnya.
Tidak sekadar memberikan tempat tinggal, banyak tugas bagi pendamping rumah singgah yang berada di bawah naungan Yayasan Bakti Agape itu.
Mereka harus mendamaikan korban dengan orang tua dan terutama dengan diri sendiri. Upaya itu karena mereka yang datang ke Griya Welas Asih dalam kondisi stres, depresi, kecewa bahkan ingin bunuh diri. "Kami layani baik secara fisik maupun psikis. Dalam penanganan tersebut kami juga melibatkan dokter spesialis untuk memeriksa kandungan dan psikolog untuk menangani psikis mereka," ucapnya.
Selama tinggal di Griya Welas Asih, para calon ibu itu juga mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan skill seperti memasak, menyulam, menjahit dan lainnya. Tujuannya, agar setelah melahirkan dan keluar dari rumah singgah tersebut mereka benar-benar menjadi seorang ibu tunggal yang berdaya dan berdikari. "Kami ingin mereka bisa kembali berbaur di masyarakat. Mereka mampu mandiri jadi wanita single parent," jelasnya. Ia menyebut, setelah ibu melahirkan pihaknya tidak menangani adopsi terhadap bayi tersebut. Hampir seluruh bayi yang telah dilahirkan dibawa pulang oleh ibu dan keluarganya. Hanya ada dua bayi yang disalurkan ke panti asuhan lantaran ibunya tak mampu merawatnya. Perempuan asal NTT itu menegaskan, anak-anak yang lahir dari ibu yang singgah di sini tidak bisa diadopsi oleh orang lain.
"Kalau ada yang kami masukan ke panti asuhan itupun juga atas persetujuan keluarga dan kami yang carikan panti asuhan," paparnya. Para pendamping di Griya Welas Asih selalu menekankan bahwa yang sudah terjadi itu bukan kegagalan dan akhir segalanya. Justru hal itu adalah langkah pertama untuk hidup yang baru. Bergerak dengan motto berbagi kasih tanpa membedakan, Griya Welas Asih membantu semua korban dari berbagai agama. Mereka selalu memegang prinsip kemanusiaan adalah yang paling utama untuk menolong bagi yang membutuhkan bantuan. "Jika sudah terlanjur kejadian bingung sampai bunuh diri itu justru berbuat dosa. Maka saya bersyukur mereka bisa sampai sini.
Sebab itu sama seperti telah menyelamatkan jiwa baik ibu maupun calon bayi yang tak berdosa," kata wanita yang akrab disapa Mama Rosa itu. Ia menyebut, para perempuan yang sudah meninggalkan Griya Welas Asih sudah kembali menjalani kehidupannya masing-masing. Identitas mereka yang betul betul di jaga privasinya sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupannya baik untuk bekerja, sekolah maupun untuk menikah. "Bayaran terbesar saya yang tak bisa dihitung dengan uang adalah ketika mereka mengabari saya sudah menjalani kehidupan dengan bahagia, itu yang bikin saya menangis bahagia," terangnya.
Wanita yang bekerja staf paruh waktu GBT Kristus Alfa Omega itu selalu berpesan kepada masyarakat jika bertemu dengan orang-orang yang malang seperti perempuan hamil di luar nikah jangan diberi caci maki dan menolak keberadaan mereka.
Lebih baik rangkul mereka agar tenang, karena sebenarnya mereka butuh perhatian dan masih punya kesempatan untuk kehidupan baru yang lebih baik. "Kami sangat berharap masyarakat ketika ada perempuan hamil di luar nikah jangan disingkirkan, dikucilkan.
Carilah jalan keluarnya, hubungkan dengan Yayasan, atau lembaga lain yang mau mengurus anak itu. Kasihan anak dan bayi yang di kandungannya," pesannya.
Ia pun berharap, kesehatan reproduksi terus digaungkan di pendidikan Indonesia. Pengetahuan tersebut perlu diberikan karena penting untuk mencegah pernikahan dini dan kehamilan di luar nikah. "Sebenarnya kami juga melakukan kegiatan seminar kesehatan reproduksi ke sekolah-sekolah di Kota Semarang tapi karena pandemi Covid-19 kegiatan itu terhenti," ucapnya. (Iwn)
Sumber: TribunJateng.com
Judul: Griya Welas Asih Semarang Tempat Singgah Bagi Para Perempuan Hamil di Luar Nikah.